Jumat, 23 November 2012

Sejarah singkat Perguruan Bhayu Manunggal (bagian II) Tanggal :

Ki Djojosuwito  (1889-2000)
Biasa dengan panggilan Mbah Djojo oleh kalangan persilatan umumnya atau Eyang Djojo dalam lingkungan perguruan Bhayu Manunggal. Adalah seorang yang masa hidupnya dihabiskan di dunia Pencaksilat. Dilahirkan di kampung Prawirotaman Yogyakarta, pada hari Minggu Legi tahun 1889, putra ke dua Ki Martodihardjo (RM Saring Martoredjo). 
Ki Djojosuwito mewarisi seni beladiri dari leluhurnya. Dilahirkan dan hari tua beliau tinggal di kampung Prawirotaman Yogyakarta. Kampung para prajurit. Kampung yang pada pra dan ketika perang kemerdekaan sebagai tempat konsentrasi Markas Besar laskar pejuang, diantaranya yang terkenal adalah pasukan Hantu Maut. Ketika itu Ki Djojosuwito adalah salah satu pimpinan pasukan yang menjabat sebagai Ketua Pasukan Sandi Yudha atau Ketua Inteldjen Badan Pemberontak Repoeblik Indonesia wilayah Djogyakarta.
Sejak remaja, beliau biasa hidup ngenger dan bepergian dari satu tempat ketempat yang lain, di Nusantara ini.
Menjadi seorang tokoh dikemudian hari, tidak terlepas dari kebiasaan perjuangan hidup di masa lalu. Demikian pula halnya Mbah Djojo yang memang sejak usia remaja menyenangi seni beladiri. Lingkungan keluarga yang memang prajurit tempur membentuknya lahir bathin mencintai seni beladiri. Kebiasaan mengumpulkan teman-teman seusianya sejak kecil,  untuk berpencak ria. Menjadikannya gemar belajar dan mengajar. Hingga akhir hayat, kedekatan Mbah Djojo kepada murid-muridnya seperti kepada anak-anaknya sendiri.
            Latar belakang kehidupan dan kecintaan kepada Pencak silat membuatnya leluasa bergelut dengan seni beladiri bangsanya sepanjang masa hidupnya. Kegemaran belajar dari manusia, makhluk dan alam seisinya memperkaya pengetahuan tata beladirinya. Kesukaan mengajar dimanapun  berada semakin mengenalkan diri sebagai sosok yang sederhana yang sangat mencintai seni beladiri bangsanya. Kesederhanaan kepribadian beliau sejak remaja memudahkan pergaulannya kesemua lapisan masyarakat. Demikian pula pergaulan dikalangan perguruan seni beladiri Nusantara ini, mulai dari daerah-daerah di pulau Jawa hingga Ranah Minang. Banyak kawan  upaya tak berlawan adalah  bagian dari motto yang dapat dipetik dari beliau.
            Hingga suatu saat, si putra Jawa yang mewarisi ilmu tata beladiri dari leluhur Jawa  ini menciptakan ilmunya yang bercorak, ragam dan isi Nusantara diberi nama Bhayu Manunggal  yang mengandung arti : Unsur  yang terpadu  menjadi  pedoman  mewujudkan  kesempurnaan.
 Pra Kemerdekaan hingga IPSI        
Politik adu domba Belanda memang mampu memporak porandakan sendi-sendi kehidupan di Nusantara ini. Namun niat, tekad dan semangat tidak dapat dipadamkan. Generasi muda semakin kokoh berpadu diri dari berbagai suku hingga terwujud Boedi Oetomo 1908 sebagai tonggak kebangkitan bangsa.
Dalam situasi zaman yang serba sulit di awal bangkitnya kesadaran berkebangsaan itulah Ki Djojosuwito muda ber kembang mencari bentuk kehidupannya.  Semangat  perjuangan   yang  demikian sangat dalam  tertanam di sanubari Ki Djojosuwito muda yang mendorongnya untuk senantiasa berbuat sesuatu bagi bangsanya. Beliau mulai menyebarkan tata beladiri yang dikuasainya secara diam-diam, melalui lingkungan budaya kesenian, pribadi-pribadi, pertemanan, kekeluargaan, berpindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah yang lain. Semua itu ditujukan untuk membangun kekuatan para pemuda lahir bathin bagi perjuangan kemerdekaan. Belanda selalu memata-matai orang – orang seperti beliau, namun dengan perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa,  sekalipun  beliau tidak pernah tersentuh.
Perubahan yang luar biasa dialaminya ketika bala tentara Jepang menguasai Indonesia. Para Pendekar justru diberi keleluasaan menyebarkan ilmunya. Bahkan para pendekar jago-jago negeri Sakura sangat senang saling mengasah ilmu dengan pendekar-pendekar lokal. Apalagi bala tentara Djepang tersebut ingin dianggap sebagai saudara tua yang ber ilmu tinggi. Adu ilmu biasa dialami Ki Djojosuwito dengan berbagai aliran kala itu. Yang hanya ditandai dengan istilah menang atau kalah. Tanpa aturan baku seperti saat ini. Sehingga terkadang berakibat fatal bagi si kalah. Kebetulan ilmu Bhayu Manunggal yang dikembangkan oleh Ki Djojsuwito bersumber dari tata tempur sesungguhnya, yang dalam tarungan atau sabung menganut sisitim tarung bebas atau Free Fight Full Contact, alias langsung mengenai sasaran dengan tenaga penuh tanpa dibatasi. Sistim yang kala itu sangat tidak populer yang mendapat tentangan dari berbagai perguruan lain di Nusantara. Namun kemudian terbukti, konsep ini menjadi panutan banyak aliran beladiri masa kini.
Mulai saat itu Ki Djojosuwito dapat bergerak lebih leluasa, Bhayu Manunggal diajarkan lebih terbuka, dengan program melalui kursus-kursus jangka pendek bagi lembaga, instansi pemerintah  yang membutuhkan dan generasi muda yang berminat.Bahkan setelah mengenal, para pribadi tersebut melanjutkan pendalam, masuk menjadi anggota perguruan Bhayu Manunggal yang bersifat kekeluargaan. Murid-murid Ki Djojosuwito, masing-masing dikembangkan berdasarkan bakat yang dimiliki.
            Setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan, jiwa dan semangat para pendekar semakin bergelora untuk mewujudkan identitas seni tata beladiri Nasional. Ki Djojosuwito yang tergolong kelompok tua, berupaya mendorong para pendekar muda membentuk wadah untuk mempersatukan tata beladiri Nusantara ini. Buah dari semangat para Pendekar  Muda tersebut pada tahun 1948 di Solo, di wakili beberapa perguruan  yang menghadiri pertemuan dapat didirikan cikal bakal IPSI. Perwakilan ini  kemudian menjadi 10  Perguruan Historis.
Saat terbentuknya IPSI belum merupakan wujud identitas Nasional seni tata beladiri Indonesia. Masih banyak aliran/ perguruan dari berbagai daerah yang  belum terwakili dan tidak sependapat. Bahkan di pulau Jawa khususnya Yogyakarta /Surakarta juga demikian. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya zaman, kehadiran IPSI  akhirnya kemudian dapat diterima semua pihak. 

POPSI Bhayu Manunggal   
Dalam rangka pengembangan organisasi, beberapa orang  generasi muda siswa keluarga Bhayu Manunggal senior, yaitu : Ragil Sardjono(alm), Ir.Cahyo Suryono(alm), Agus Sugeng SH, Drs. Suharto, Mayor Drs. Hery Warso(alm), Drs.V. Munandir (alm) serta Ki Djojosuwito(alm) sebagai Guru Besar Perguruan, pada hari Minggu Kliwon tanggal 26 Juli tahun 1970 Masehi, men dirikan Pelopor Pencak Silat Indonesia disingkat  POPSI sebagai  wadah organisasi yang bebas dari nuansa politis, yang merupakan badan organisasi dari Perguruan Bhayu Manunggal. Kata Pelopor” diambil untuk menandai bahwa organisasi POPSI pada Perguruan Bhayu Manunggal bebas dari lingkungan atau kelompok yang bernuansa politik.
Setelah beberapa tahun, bersamaan dengan berkembangnya POPSI sebagai organisasi, yaitu antara pertengahan tahun 1970-1980, para  siswa keluarga Perguruan Bhayu Manunggal yang sudah lebih dahulu mendirikan organisasi dan yang terjangkau, di inventarisasi, agar supaya tidak kehilangan sumber ilmu. Semua bergabung dibawah satu bendera. Sebagai induk organisasi dibentuk Pengurus Besar POPSI Bhayu Manunggal. Kepengurusan pertama PB. POPSI Bhayu Manunggal  di motori oleh tiga orang : Ir. Widodo Kusuma(Alm), Drs. Warie Suharyanto, R. Subur BA.
Sejak saat itu organisasi POPSI berkembang hanya  melalui satu organisasi yaitu POPSI Bhayu Manunggal. Tidak berbeda dengan perguruan-perguruan Pencak Silat yang lain di Nusantara. POPSI Bhayu Manunggal menyebar di penjuru tanah air dan manca negara.
Sesuai dengan falsafahnya, bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup. Maka demikian pula penyebaran ilmu Bhayu Manunggal berlangsung alamiah,  melalui para pribadi yang pernah berguru secara pribadi langsung kepada Ki Djojosuwito sejak tahun 1930 ketika berdirinya Perguruan Bhayu Manunggal maupun melalui siswa-siswa senior, sebelum dan sesudah dibentuknya badan organisasi POPSI yang kemudian menjadi POPSI Bhayu Manunggal.
Diantara para pribadi, dapat disebutkan antara lain adalah Raden Panji Setiosoeprapto alias A.D. Nelson (Guru Besar Pamor Badai) yang menetap dan mengembangkan perguruannya di Nederland Belanda. Raden Panji Setiosoeprapto mewarisi ilmu turunan keluarga yang berasal dari alur Pangeran Suhita di zaman Majapahit. Dalam penelusuran dan pendalaman alur alirannya ia menemukan Bhayu Manunggal pada Ki Djojosuwito yang berhulu pada sumber yang sama dengannya. Kini Bhayu Manunggal menjadi bagian dari ilmu yang dimiliki dan dikembangkan pada Perguruan Pamor Badai.
Tahun 1993, Wilson Ian Douglas, warganegara Australia, khusus datang berguru menjadi siswa di Padepokan Bhayu Manunggal beberapa tahun untuk mencapai gelar Doctor Pencak Silat di School of Asian Studies, Asia Research Centre, Australia, kemudian mengembangkan Bhayu Manunggal di Australia.
Organisasi  Perguruan sejak berdirinya POPSI 1970, aktif mengikuti kegiatan persilatan nasional/ internasional . Siswa laga yang berasal dari Organisasi POPSI Bhayu Manunggal maupun yang bersumber pada Perguruan Bhayu Manunggal 1930 yang datang dari berbagai daerah / negara mewarnai persilatan nasional dan internasional.
Hingga kini masih banyak pribadi-pribadi yang memiliki ilmu Bhayu Manunggal belum terjangkau oleh komunitas Keluarga Besar Bhayu Manunggal baik di tanah air maupun di luar negeri. Sangat disayangkan apabila suatu saat kelak ilmu Bhayu Manunggal sebagai asset  peradaban manusia yang diciptakan oleh mendiang Ki Djojosuwito larut oleh zaman, lenyap tak berbekas.
Tutup Usia
Pada bulan September hari Minggu Legi tahun 2000 Masehi, 111 tahun dilewati, Ki Djojosuwito alias Pandita Dharmowiryo, Guru Besar Perguruan / Pencipta Ilmu Bhayu Manunggal tutup usia setelah sakit sepuh beberapa waktu. 
Meninggalkan ilmu Bhayu Manunggal pada para muridnya yang tersebar dipersada Nusantara ini dan luar Nusantara, dimana dari sebagian para murid tersebut masih belum terjalin adanya komunikasi. Bahkan diantaranya ada yang belum saling mengenal.
Sepeninggal Guru Besar Ki Djojosuwito, adalah merupakan kewajiban para murid tersebut untuk memelihara, melestarikan ilmu yang dimiliki masing – masing sebagai khasanah budaya bangsa yang diharapkan kemudian dapat diserahkan pada generasi berikut dari bangsa ini.
Sebagai penutup dari tulisan ini, untuk pengeling-eling weling Sang Guru Besar bahwa Perguruan Bhayu Manunggal bersandar dan berlindung kepada Tuhan yang Maha Kuasa bersifat kekeluargaan dengan organisasi Pelopor Pencak Silat Indonesia (POPSI) yang tidak bernaung di dalam organisasi atau partai politik manapun. Weling yang wajib direnungi setiap insan Bhayu Manunggal, dalam melestarikan tinggalane sang Guru.

6 komentar:

  1. Popsi bhayu manunggal di kulon progo latihannya sebelah mana

    BalasHapus
  2. Salam kenal mba..saya putranya alm pak Bagyo kotagede..

    BalasHapus
  3. Saya pernah pendadaran sabuk biru di prawiro taman. Saya dari cilacap. Sekarang prawirotaman kaya apa ya?

    BalasHapus
  4. Salam kenal..
    Apakah ada tempat latihan di sekitar Condong Catur? Kalau di Kab Sleman tempat latihannya di mana saja?

    BalasHapus
  5. Dulu saya latihan dibalai desa argomulyo Sedayu Bantul..salam kenal..mas wary mas Sigit mas hari..

    BalasHapus