Biasa dengan panggilan Mbah Djojo oleh
kalangan persilatan umumnya atau Eyang Djojo dalam lingkungan perguruan
Bhayu Manunggal. Adalah seorang yang masa hidupnya dihabiskan di dunia
Pencaksilat. Dilahirkan di kampung Prawirotaman Yogyakarta, pada hari
Minggu Legi tahun 1889, putra ke dua Ki Martodihardjo (RM Saring
Martoredjo).
Ki Djojosuwito mewarisi seni beladiri
dari leluhurnya. Dilahirkan dan hari tua beliau tinggal di kampung
Prawirotaman Yogyakarta. Kampung para prajurit. Kampung yang pada pra dan ketika perang
kemerdekaan sebagai tempat konsentrasi Markas Besar laskar pejuang,
diantaranya yang terkenal adalah pasukan Hantu Maut. Ketika itu Ki
Djojosuwito adalah salah satu pimpinan pasukan yang menjabat sebagai
Ketua Pasukan Sandi Yudha atau Ketua Inteldjen Badan Pemberontak
Repoeblik Indonesia wilayah Djogyakarta.
Sejak remaja, beliau biasa hidup ngenger dan bepergian dari satu tempat ketempat yang lain, di Nusantara ini.
Menjadi seorang tokoh dikemudian hari,
tidak terlepas dari kebiasaan perjuangan hidup di masa lalu. Demikian
pula halnya Mbah Djojo yang memang sejak usia remaja menyenangi seni
beladiri. Lingkungan keluarga yang memang prajurit tempur
membentuknya lahir bathin mencintai seni beladiri. Kebiasaan
mengumpulkan teman-teman seusianya sejak kecil, untuk berpencak ria.
Menjadikannya gemar belajar dan mengajar. Hingga akhir hayat, kedekatan
Mbah Djojo kepada murid-muridnya seperti kepada anak-anaknya sendiri.
Latar belakang kehidupan dan
kecintaan kepada Pencak silat membuatnya leluasa bergelut dengan seni
beladiri bangsanya sepanjang masa hidupnya. Kegemaran belajar dari
manusia, makhluk dan alam seisinya memperkaya pengetahuan tata
beladirinya. Kesukaan mengajar dimanapun berada semakin mengenalkan
diri sebagai sosok yang sederhana yang sangat mencintai seni beladiri
bangsanya. Kesederhanaan kepribadian beliau sejak remaja memudahkan
pergaulannya kesemua lapisan masyarakat. Demikian pula pergaulan
dikalangan perguruan seni beladiri Nusantara ini, mulai dari
daerah-daerah di pulau Jawa hingga Ranah Minang. Banyak kawan upaya tak berlawan adalah bagian dari motto yang dapat dipetik dari beliau.
Hingga suatu saat, si putra Jawa yang mewarisi ilmu tata
beladiri dari leluhur Jawa ini menciptakan ilmunya yang bercorak, ragam
dan isi Nusantara diberi nama Bhayu Manunggal yang mengandung arti : Unsur yang terpadu menjadi pedoman mewujudkan kesempurnaan. Pra Kemerdekaan hingga IPSI
Politik adu domba Belanda memang mampu
memporak porandakan sendi-sendi kehidupan di Nusantara ini. Namun niat,
tekad dan semangat tidak dapat dipadamkan. Generasi muda semakin kokoh
berpadu diri dari berbagai suku hingga terwujud Boedi Oetomo 1908
sebagai tonggak kebangkitan bangsa.
Dalam situasi zaman yang serba sulit di
awal bangkitnya kesadaran berkebangsaan itulah Ki Djojosuwito muda ber
kembang mencari bentuk kehidupannya. Semangat perjuangan yang
demikian sangat dalam tertanam di sanubari Ki Djojosuwito muda yang
mendorongnya untuk senantiasa berbuat sesuatu bagi bangsanya. Beliau
mulai menyebarkan tata beladiri yang dikuasainya secara diam-diam,
melalui lingkungan budaya kesenian, pribadi-pribadi, pertemanan,
kekeluargaan, berpindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah yang
lain. Semua itu ditujukan untuk membangun kekuatan para pemuda lahir
bathin bagi perjuangan kemerdekaan. Belanda selalu memata-matai orang –
orang seperti beliau, namun dengan perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa,
sekalipun beliau tidak pernah tersentuh.
Perubahan yang luar biasa dialaminya
ketika bala tentara Jepang menguasai Indonesia. Para Pendekar justru
diberi keleluasaan menyebarkan ilmunya. Bahkan para pendekar jago-jago
negeri Sakura sangat senang saling mengasah ilmu dengan
pendekar-pendekar lokal. Apalagi bala tentara Djepang tersebut ingin
dianggap sebagai saudara tua yang ber ilmu tinggi. Adu ilmu biasa
dialami Ki Djojosuwito dengan berbagai aliran kala itu. Yang hanya
ditandai dengan istilah menang atau kalah. Tanpa aturan baku seperti
saat ini. Sehingga terkadang berakibat fatal bagi si kalah. Kebetulan
ilmu Bhayu Manunggal yang dikembangkan oleh Ki Djojsuwito bersumber dari
tata tempur sesungguhnya, yang dalam tarungan atau sabung menganut
sisitim tarung bebas atau Free Fight Full Contact, alias langsung
mengenai sasaran dengan tenaga penuh tanpa dibatasi. Sistim yang kala
itu sangat tidak populer yang mendapat tentangan dari berbagai perguruan
lain di Nusantara. Namun kemudian terbukti, konsep ini menjadi panutan
banyak aliran beladiri masa kini.
Mulai saat itu Ki Djojosuwito dapat
bergerak lebih leluasa, Bhayu Manunggal diajarkan lebih terbuka, dengan
program melalui kursus-kursus jangka pendek bagi lembaga, instansi
pemerintah yang membutuhkan dan generasi muda yang berminat.Bahkan
setelah mengenal, para pribadi tersebut melanjutkan pendalam, masuk
menjadi anggota perguruan Bhayu Manunggal yang bersifat kekeluargaan.
Murid-murid Ki Djojosuwito, masing-masing dikembangkan berdasarkan bakat
yang dimiliki.
Setelah kemerdekaan
Indonesia dikumandangkan, jiwa dan semangat para pendekar semakin
bergelora untuk mewujudkan identitas seni tata beladiri Nasional. Ki
Djojosuwito yang tergolong kelompok tua, berupaya mendorong para
pendekar muda membentuk wadah untuk mempersatukan tata beladiri
Nusantara ini. Buah dari semangat para Pendekar Muda tersebut pada
tahun 1948 di Solo, di wakili beberapa perguruan yang menghadiri
pertemuan dapat didirikan cikal bakal IPSI. Perwakilan ini kemudian
menjadi 10 Perguruan Historis.
Saat terbentuknya IPSI belum merupakan
wujud identitas Nasional seni tata beladiri Indonesia. Masih banyak
aliran/ perguruan dari berbagai daerah yang belum terwakili dan tidak
sependapat. Bahkan di pulau Jawa khususnya Yogyakarta /Surakarta juga
demikian. Seiring dengan berjalannya waktu dan berkembangnya zaman,
kehadiran IPSI akhirnya kemudian dapat diterima semua pihak.
POPSI Bhayu Manunggal
Dalam rangka pengembangan organisasi, beberapa orang generasi muda siswa keluarga Bhayu Manunggal senior, yaitu : Ragil
Sardjono(alm), Ir.Cahyo Suryono(alm), Agus Sugeng SH, Drs. Suharto,
Mayor Drs. Hery Warso(alm), Drs.V. Munandir (alm) serta Ki
Djojosuwito(alm) sebagai Guru Besar Perguruan, pada hari Minggu Kliwon tanggal 26 Juli tahun 1970 Masehi, men dirikan Pelopor Pencak Silat Indonesia disingkat POPSI sebagai wadah organisasi yang bebas dari nuansa politis, yang merupakan badan organisasi dari Perguruan Bhayu Manunggal. Kata “Pelopor” diambil
untuk menandai bahwa organisasi POPSI pada Perguruan Bhayu Manunggal
bebas dari lingkungan atau kelompok yang bernuansa politik.
Setelah beberapa tahun, bersamaan dengan
berkembangnya POPSI sebagai organisasi, yaitu antara pertengahan tahun
1970-1980, para siswa keluarga Perguruan Bhayu Manunggal yang sudah
lebih dahulu mendirikan organisasi dan yang terjangkau, di
inventarisasi, agar supaya tidak kehilangan sumber ilmu. Semua bergabung
dibawah satu bendera. Sebagai induk organisasi dibentuk Pengurus Besar
POPSI Bhayu Manunggal. Kepengurusan pertama PB. POPSI Bhayu Manunggal
di motori oleh tiga orang : Ir. Widodo Kusuma(Alm), Drs. Warie Suharyanto, R. Subur BA.
Sejak saat itu organisasi POPSI
berkembang hanya melalui satu organisasi yaitu POPSI Bhayu Manunggal.
Tidak berbeda dengan perguruan-perguruan Pencak Silat yang lain di
Nusantara. POPSI Bhayu Manunggal menyebar di penjuru tanah air dan manca
negara.
Sesuai dengan falsafahnya, bahwa
beladiri adalah kodrat makhluk hidup. Maka demikian pula penyebaran ilmu
Bhayu Manunggal berlangsung alamiah, melalui para pribadi yang
pernah berguru secara pribadi langsung kepada Ki Djojosuwito sejak tahun
1930 ketika berdirinya Perguruan Bhayu Manunggal maupun melalui
siswa-siswa senior, sebelum dan sesudah dibentuknya badan organisasi
POPSI yang kemudian menjadi POPSI Bhayu Manunggal.
Diantara para pribadi, dapat disebutkan antara lain adalah Raden
Panji Setiosoeprapto alias A.D. Nelson (Guru Besar Pamor Badai) yang
menetap dan mengembangkan perguruannya di Nederland Belanda. Raden Panji Setiosoeprapto mewarisi ilmu turunan keluarga yang berasal dari alur Pangeran Suhita di zaman Majapahit.
Dalam penelusuran dan pendalaman alur alirannya ia menemukan Bhayu
Manunggal pada Ki Djojosuwito yang berhulu pada sumber yang sama
dengannya. Kini Bhayu Manunggal menjadi bagian dari ilmu yang dimiliki
dan dikembangkan pada Perguruan Pamor Badai.
Tahun 1993, Wilson Ian Douglas, warganegara
Australia, khusus datang berguru menjadi siswa di Padepokan Bhayu
Manunggal beberapa tahun untuk mencapai gelar Doctor Pencak Silat di
School of Asian Studies, Asia Research Centre, Australia, kemudian
mengembangkan Bhayu Manunggal di Australia.
Organisasi Perguruan sejak berdirinya POPSI 1970, aktif mengikuti kegiatan persilatan nasional/ internasional .
Siswa laga yang berasal dari Organisasi POPSI Bhayu Manunggal maupun
yang bersumber pada Perguruan Bhayu Manunggal 1930 yang datang dari
berbagai daerah / negara mewarnai persilatan nasional dan internasional.
Hingga kini masih banyak pribadi-pribadi
yang memiliki ilmu Bhayu Manunggal belum terjangkau oleh komunitas
Keluarga Besar Bhayu Manunggal baik di tanah air maupun di luar negeri.
Sangat disayangkan apabila suatu saat kelak ilmu Bhayu Manunggal sebagai
asset peradaban manusia yang diciptakan oleh mendiang Ki Djojosuwito
larut oleh zaman, lenyap tak berbekas.
Tutup Usia
Pada bulan September hari Minggu
Legi tahun 2000 Masehi, 111 tahun dilewati, Ki Djojosuwito alias
Pandita Dharmowiryo, Guru Besar Perguruan / Pencipta Ilmu Bhayu
Manunggal tutup usia setelah sakit sepuh beberapa waktu.
Meninggalkan ilmu Bhayu Manunggal pada
para muridnya yang tersebar dipersada Nusantara ini dan luar Nusantara,
dimana dari sebagian para murid tersebut masih belum terjalin adanya
komunikasi. Bahkan diantaranya ada yang belum saling mengenal.
Sepeninggal Guru Besar Ki Djojosuwito,
adalah merupakan kewajiban para murid tersebut untuk memelihara,
melestarikan ilmu yang dimiliki masing – masing sebagai khasanah budaya
bangsa yang diharapkan kemudian dapat diserahkan pada generasi berikut
dari bangsa ini.
Sebagai penutup dari tulisan ini, untuk pengeling-eling weling Sang Guru Besar bahwa
Perguruan Bhayu Manunggal bersandar dan berlindung kepada Tuhan yang
Maha Kuasa bersifat kekeluargaan dengan organisasi Pelopor Pencak Silat
Indonesia (POPSI) yang tidak bernaung di dalam organisasi atau partai
politik manapun. Weling yang wajib direnungi setiap insan Bhayu
Manunggal, dalam melestarikan tinggalane sang Guru.
Popsi bhayu manunggal di kulon progo latihannya sebelah mana
BalasHapusDi balai desa Bojong ,kec panjatan ..
HapusSalam kenal mba..saya putranya alm pak Bagyo kotagede..
BalasHapusSaya pernah pendadaran sabuk biru di prawiro taman. Saya dari cilacap. Sekarang prawirotaman kaya apa ya?
BalasHapusSalam kenal..
BalasHapusApakah ada tempat latihan di sekitar Condong Catur? Kalau di Kab Sleman tempat latihannya di mana saja?
Dulu saya latihan dibalai desa argomulyo Sedayu Bantul..salam kenal..mas wary mas Sigit mas hari..
BalasHapus